MAKALAH KEWIRAUSAHAAN
Strategi
Pembelajaran Pendidikan Kewirausahaan
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan Kelas B
Oleh Kelompok 7
Bayu Setiawan 120210302086
Yulia Kusmawati 120210302018
Finuriyati Kumala. D 140210302025
Muh. Anwari 140210302066
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karuniaNya kepada
penulis sehingga berhasil menyelesaikan Makalah ini, yang Alhamdulillah tepat
waktu yang berjudul “Strategi Pembelajaran
Pendidikan Kewirausahaan”.
Makalah ini berisikan tentang informasi strategi pembelajaran
pendidikan kewirausahaan serta bagaimana kita meneladani untuk penerapan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Jember, April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
Pada
bab II pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pemdidikan
Nasional, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak secara peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehiduapan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkannya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang
maha Esa. Berdasarkan pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas,
pendidikan kewirausahaan dapat dijadikan sebagai salah satu wahana untuk
mensukseskan tujuan pendidikan nasional.
Sebab pada dasarnya pemdidikan kewirausahaan adalah sebagai pendidikan nilai,
yang bertujua untuk memberikan pertolongan dengan cara membelajarkan manusia
Indonesia agar memiliki kekuatan pribadi yang dinamis, dan kreatif kepribadian
bangsa Indonesia yang berdasarkan pada pancasila.
Proses
pembelajaran kewirausahaan ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal,
pendidikan nonformal, dan jalur pendidikan informal. Pendidikan kewirausahaan
melalui jalur pendidikan formal, dapat dilakukan mulai dari tingkat pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan kewirausahaan melalui
jalur nonformal dan informal dapat dilakukan di masyarakat, maupun dirumah.
Kedua jenis pendidikan ini dapat dilakukan dimasyarakat, pemerintah, maupun
oleh orang tua.
Bila
dilihat dari jenisnya, pendidikan formal dapat dibedakan menjadi pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, keagamaan, dan pendidikan khusus. Kedudukan
pendidikan kewirausahaan yang dilakukan di sekolah umum biasanya tidak
diajarkan secara mandiri, maupun diintegrasikan pada mata pelajaran lain yang
relevan, seperti pelajaran ekonomi, PPKN, dll. Khusus untuk pendidikan kejuruan
dan pendidikan tinggi, pendidikan kewirausahaan diajarkan secara tersendiri.
Pendidikan kewirausahaan yang dilaksanakan secara nonformal dan informal dapat
berlangsung dalam masyarakat maupun keluarga. Secara nonformal pendidikan
kewirausahaan dapat dilakukan dengan bentuk khursus atau pelatihan, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Sementara, secara informal
pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan oleh seseorang melalui interkasi
dengan keluarga, teman, masyarakat, maupun media cetak/elektronik.
1. Bagaimana
kondisi pembelajaran kewirausahaan secara umum?
2. Bagaimana
pertimbangan penentuan strategi pembelajaran kewirausahaan?
3. Bagaimana
strategi dan pendekatan pembelajaran pendidikan kewirausahaan?
1. Untuk
mengetahui pembelajaran kewirausahaan secara umum
2. Untuk
mengetahui pertimbangan penentuan strategi pembelajaran kewirausahaan
3. Untuk
mengetahui strategi dan pendekatan pembelajaran pendidikan kewirausahaan
BAB II. PEMBAHASAN
Pembelajaran
Kewirausahaan di sekolah umumnya dilakukan dengan menggunakan metode ceramah,
resitasi, dan membaca buku text. Dilaporkan oleh Douglas, et.all bahwa 90%
guru-guru dalam mengajar hanya menggunakan buku text sebagai sumber bahan ajar
(Saxe, 1994). Padahal menurut Galbraith (1967) untuk mempelajari suatu ilmu,
seseorang harus cekatan dalam menyimak, memahami dan mengambil keputusan, agar
nantinya dia lebih mampu bertahan hidup. Untuk itu, pendidikan tidak boleh
text-book oriented, sebab menurut Whitehead, text-book oriented biasanya
bercorak generalisasi dan mendorong proses pembelajaran yang hanya sekedar menjejalkan
ide-ide abstrak, sehinggga siswa cenderung Memorizing not undertstanding.
(sukarman, 1988)
Sughonomian
mengatakan bahwa buku hanyalah berisi kerangka, oleh sebab itu, daring harus
diisi informasi (berupa informasi actual dari media massa maupun dari
masyarakat). Selanjutnya buku text yang beredar selama 5 tahun ternyata masih
kalah cepat dengan perkembangan teori.
Sebab selama 8 tahun perkembangan teori menjadi dua kali lipat lebih
cepat (Sukarman, 1988).
Di
samping pembelajaran kewirausahaan masih menekankan pada Text-book oriented,
ternyata pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang
divariasikan dengan metode diskusi masih belum menekankan pada proses berfikir
siswa secara mandiri. Sebab pada umumnya metode diskusi dilakukan pada kelas
besar yang biasanya dominasi guru masih tampak menonjol. Juga materi yang
dibahas tidak sesuai dengan kontek dan isu-isu moral yang sedang berkembang
dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kewirausahaan. Ada
kecenderungan siswa hanyalah sebagai pendengar penjelasan guru atau hanya
sekedar melengkapi Lembar Kerja Siswa (LKS), kondisinya menjadi semakin serius,
karena pendidik kurang mengembangkan materi pembelajarannya sesuai dengan
kebutuhan siswa. Padahal dengan memperhatikan interest siswa, seorang guru akan
dapat mengajar secara efektif (Saxe, 1994).
Dalam
pengelolaan proses pembelajarannyapun masih didominasi peda model keseragaman,
yang kurang memperhatikan latar belakang budaya siswa. Padahal kurikulum yang
bebrasis kompetensi (KBK), yang didasari oleh teori “Konstruktivistik”, menurut
adanya proses pembelajaran yang menghargai keberagaman dan pengalaman hidup
sehari-hari anak, sehingga memungkinkan
dia untuk mampu mengkontruk konsep atau pengetahuan sendiri. Hal ini sangat beralasan,
karena menurut teori tersebut, anak akan menjadi sangat kreatif dan pandai
berinteraksi dengan teman-teman lainnya.
Beberapa
kenyataan di atas menajadikan pembelajaran kewirausahaan maupun IPS di
sekolah/perguruan tinggi menjadi kurang menarik. Sebagi akibatnya, muncul
kebosanan dan kejenuhan dari para peserta didikuntuk mempelajarinya, karena
mereka di arahkan hanya sekedar menghafalkan saja tidak ada proses
understanding. Hal ini, terjadi karena selama ini materi yang dipelajarinya
tidak hanya menyentuh kebutuhan mereka. Atau dengan kata lain materi yang
dipelajari tidak relevan dengan pengalaman belajar mereka sehari-hari, akhirnya
materi tersebut dianggap kurang menantang.
Peranan
guru/dosen pengampu mata pelajaran/mata kuliah kewirausahaan di era reformasi
dan otonomi daerah menjadi semakin penting. Mereka diharapkan mampu
mengambangkan seluruh potensi yang ada, untuk mengambangkan keseluruhan aspek
pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotor dsn religious, serta emosional
siswa). Untuk itu, selain kelayakan, mulai sekarang para pengajar
kewirausahaan/IPS harus berpedoman pada paradigma baru dalam proses
pembelajaran maupun proses assessmennya. Mereka harus mempertimbangkan banyak
factor, baik yang berkenaan dengan latar belakang peserta didik, psikologis
anak, jenis belajar dll.
Ada
beberapa factor yang perlu dipertimbangkan oleh guru/dosen sebelum menentukan
strategi pembelajaran kewirausahaan. Factor tersebut meliputi: a) kebutuhan dasar
anak; b) latar belakang anak; c) perkembangna kognitif anak; d) jenis dan
kecakapan belajar; e) media dan sumber belajar; f) karakteristik mata
pelajaran; g) karakteristik kurikulum; dan h) pengalaman guru.
Agar
materi kewirausahaan dapat diterima dengan baik oleh para siswa, maka
diperlukan suatu strategi tertentu,utamanya yang dapat menyenangkan dan
memenuhi kebutuhan dasar para siswa. Menurut Saxe (1994) ada empat kebutuhan
dasar (the universal need of children) yang harus dipenuhi yaitu : a) kebutuhan
untuk berkomunikasi; b) kebutuhan untuk mengkonstruksi; c) kebutuhan untuk
berfikir dan bertindak; dan d) kebutuhan untuk berekpresi diri. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut sebaiknya juga perlu memperhatikan prior knowledge dan keterampilan
yang dimiliki anak agar proses pembelajaran lebih efektif (Borich, 1994). Oleh
karena itu, proses pembelajaran kewirausahaan baru dapat berhasil apabila ke
empat kebutuhan tersebut telah terpenuhi. Walaupun begitu, kenyataannya masih
meneunjukkan bahwa ukuran keberhasilan peserta didik umumnya hanya didasarkan
pada nilai (angka) yang sangat tinggi.
Barba
(1995) mengatakan bahwa pembelajaran anak disekolah akan berhasildengan
baik apabila pengajar mau memperhatikan
cultural background dan cultural diversity. Oleh sebab itu, pembelajaran
kewirausahaan baru akan berhasil apabila guru dapat memanfaatkan pengalaman
anak dan berbagai latar belakang yang dimilikinya untuk mempertimbangkan dalam
penentuan strategi pembelajarannya.
Para
pakar pendidikan yang lain seperti Donaldson dan Sutherland menyatakan bahwa
proses pemebelajaran anak akan bisa lebih bermakna dan difahami apabila guru
mau mempertimbangkan bahasa dan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh
anak. Sebagai contoh Theresia Nunn pernah meneliti para anak penjual coconut
milk (vendor) di daerah pantai Brazil yang umumnya lemah dalam belajar
matematika di sekolah. Namun demikian, hasilnya sungguh mengejutkan sebab
mereka ternyata mampu bertransaksi hingga angka ribuan. Setelah diteliti
Theresia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesulitan anak dalam belajar
matematika bukan karena mereka bodoh, tetapi dikarenakan pelajaran matematika
yang diajarkan di sekolah penuh dengan simbul-simbul yang tidak biasa mereka
kenal dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari
sebenarnya mereka telah mampu melakukan aktivitas matematika, karena lebih
bersifat riil dan konkrit (Purnomo, 1997).
Tahap-thap
pengembangan kognitif anak ternyata juga perlu mendapatkan perhatian khusus
selama proses pembelajaran. Sebab menurut Piaget, perkembangan kognitif anak
akan melalui tahap-tahap tertentu. Yaitu dimulai dari Pre-operational stage,
operational stage, projective stage, dan euclidine stage (formal stage). Pada
tahap awal, anak lebih suka berfikir pada hal-hal konkrit dan selanjutnya
secara bertahap anak mulai berfikir secara abstrak. Oleh karena itu, pada tahap
awal sebaiknya pengajar kewirausahaan perlu memperkenalkan aktivitas atau
fenomena sosial yang paling dekat dengan limgkungan dan pengalaman anak, baru
kemudian mereka diajak berfikir secara lebih abstrak tentang masalah sosial
yang mungkin tidak secara langsung bersinggungan dengan pengalaman mereka. Atau
mungkin anak diajak untuk mempelajari fenomena atau mengidentifikasi
permasalahan sosial yang paling dekat dengan kehidupan mereka. Selain itu,
barulah kemudian mereka diajak untuk mempelajari sesuatu fenomena sosial yang
auh dari pengalaman mereka sendiri.
Lebih
lanjut, dalam teori Piaget ditegaskan
bahwa proses anak didalam membangun suatu konsep diawali dari proses
asimilasi dan apabila sudah mulai mantap, barulah menjadi suatu proses
akomodasi (purnomo, 1997). Namun demikian, ada beberapa kritik pada teori
Piaget ini, sebab beberapa hasil penelitian seperti dari Wiegend (1992),
ternyata anak usia 5 tahun teah mampu membuat peta tertentu yang sebenarnya
menurut Piaget baru akan dapat dilakukan oleh anak usia 7 tahun. Tetapi melaui latihan tertentu taernyata anak
usia 5 tahun telah mampu melakukan keterampilan geography. Lebih lanjut, dalam
teori Piaget ditegaskan bahwa proses anak didalam membangun suatu konsep
diawali dari proses asimilasi dan apabila sudah mulai mantap, barulah terjadi
suatu proses akomodasi (Purnomo, 1997).
Dalam
perspektif lain Vygotsky, seorang ahli pendidikan Uni Sovyet, menyatakan bahwa
dalam diri anak terdapat potensi tertentu yang masih dapat dikembangkan
(dikenal dengan istilah zone of proximal development concept). Untuk
meningkatkan potensi tersebut diperlukan bantuan orang dewasa atau teman
sebaya. Oleh sebab itu, proses pembelajaran kewirausahaan akan bisa lebih
efektif bila ada suatu interaksi sosial (Purnomo, 1996).
Beberapa
konsep dan pandangan beberapa ahli diatas lebih dekat dengan teori
konstruktivistik daripada teori behavioristik. Pada teori konstruktivistik
sebenarnya lebih menekankan pada pemberian kebebasan pada anak unutk
mengembangkan kemampuan dalam mengkonstruk konsep sesuai dengan pengalamannya
sendiri. Oleh sebab itu, teori ini lebih mengarah pada pencapaiannya holistic
freedom, yang dapat mempermudah terpenuhinya kebutuhan universal anak seperti
model pembelajaran Quantum yang diselenggarakan dalam Super-Camp di USA (Porter
& Hernacki, 2002).
Jenis
dan kecakapan belajar perlu dipertimbangkan, karena mereka melihat jenis atau
kecakapan belajar yang akan dihasilkan, maka akan mempermudah guru/dosen dalam
memilih strategi pembelajaran yang sesuai. Jenis kecakapan tersebut meliputi
fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Masing-masing jenis belajar ini
membutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Agar
peserta didik tidak merasa terasing dengan lingkungannya (terutama informasi
ekonomi yang berada di lingkungan anak), maka proses pembelajaran
kewirausahaan/ ekonomi perlu didukung dengan media tau sumber-sumber langsung,
baik dari masyarakat atau perorangan, sebab informasi langsung tersebut lebih
bersifat actual dan rill. Oleh karenanya, sesekali guru/dosenpengajar
kewirausahaan/ ekonomi perlu mengajak siswanya untuk belajar tentang
permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat, apakah melalui fieldwork
atau mendatangkan praktisi yang menggeluti permasalahan sosial ke dalam kelas.
Realita
juga menunjukkan bahwa banyak materi kewirausahaan yang terdapat dalam media
massa baik dari media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu,
guru/dosen kewirausahaan perlu mempelajari pesan-pesan tersebut, untuk
dijadikan sebagai materi pembelajaran. Melalui media massa dapat memperpendek
jarak subjek belajar dengan realita kehidupan masyarakat, sehingga proses
pembelajaran dapat lancar dan dapat mempermudah pemahaman siswa/mahasiswa
terhadap kehidupan masyarakat.
Sebelum
sampai pada proses pemilihan strategi yang dianggap sesuai, terlebih dahulu
kita perlu mengkaji karakteristik kurikulum. Kalau kita cermati sebenarnya kurikulum
1994 lebih menekankan pada ketrampilan proses, sedangkan konsep kurikulum yang
berbasiskan kompetensi (KBK) lebih menekankan pada kompetensi-kompetensi
tertentu (diarahkan pada tercapainya life skills, personal skills, social
skills, thinking skills, dan academic skills anak). Berdasarkan kajian ini
diharapkan proses pembelajaran kewirausahaan lebih banyak diarahkan pada proses
terciptanya keterampilan anak untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang perlu
dilakukan dalam berwirausaha.
Hingga
saat ini sebenarnya model pembelajaran yang menekankan pada pendekatan
keterampilan proses masih cukup relevan untuk terus dilaksanakan, sebab akan
dapat mempermudah anak dalam menguasai kompetensi-kompetensi tertentu seperti
dicangkan dalam konsep kurikulum baru, sekaligus juga dapat mempermudah
tercapainya keempat kebutuhan dasar anak. Untuk itu, dalam proses
pembelajarannya diperlukan suatu strategi dan metode yang sesuai.
Hal
lain yang tidak kalah pentingnya dalam memilih strategi yang sesuai untuk
mengajarkan kewirausahaan adalah, sifat atau karakter dari materi kewirausahaan
itu sendiri. Kewirausahaan yang diajarkan di kelas itu sebenarnya marupakan
bagian dari ilmu pengetahuan sosial (perpaduan antara ekonomi, manajemen, dan
ilmu sosial terkait). Proses pembelajaran kewirausahaan tersebut akan berhasil dengan
baik apabila kita tahu tentang formula dari ilmu pengetahuan sosial yang
terdiri dari lima komponen: time, space, issues, concept, dan rekationships
(Saxe, 1994). Untuk itu, pengajar IPS harus tahu tentang karakteristik dari
masing-masing mata pelajaran IPS/ Kewirausahaan. Misalnya ilmu ekonomi konsep
dasarnya adalah masalah scarcity dan opportunity cost. Oleh sebab itu, pendidik
harus mampu merangsang para peserta didik merekan untuk dapat memahami
masalah-masalah ekonomi yang biasa ditemui siswa/mahasiswa (para peserta didik)
dalam kehidupan sehari-hari.
Pengalama guru/dosen (pendidik) tentang
kewirausahaan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keberhasilan mereka
dalam mengajarkan kewirausahaan. Pengalaman mereka bisa bersifat langsung
(firsthand experiences maupun secondhand experiences). Berbasiskan pengalaman
kewirausahaan tersebut, dapat mempermudah mereka dalam memberikan penjelasan,
maupun motivasi dan merangsang para peserta didikunutk memahami aktivitas
kewirausahaan secara rill. Tentu saja pendidik yang telah memiliki pengalaman
secara langsung tentang aktivitas kewirausahaan dalam kegiatan pembelajarannya
akan lebih mudah diterima oleh peserta
didik, dari pada pendidik yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman.
Kajian ini lebih memfokuskan pada factor
pelaksana lapangan. Yakni guru IPS/kewirausahaan. Yaitu bagaimana upaya mereka
agar dapat menerapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif,
sehingga mampu meningkatkanacademic achievement dan life skills (kecakapan hidup)
para peserta didik. Untuk itu, akan diperkenalkan tiga pendekatan yaitu :
Contextual Teaching and Learning (CTL), Moral Dilemma Discussion (MDD),
Cooperative Learning, dan Problem Solving sebagai alternative pendekatan dalam
pembelajaran kewirausahaan disekolah maupun di bangku kuliah, karena keempatnya
merupakan hal baru yang belum banyak diperaktekkan dikelas.
CTL merupakan konsep belajar yang
membantu pendidik untuk sedapat mungkin
mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik
dan mendorong mereka untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Dengan demikian, proses pembelajaran kewirausahaan akan lebih
bermakna dan alamiah apabila dalam proses pembelajarannya pendidik mau
mengkaitkan materi yang diajarkan dengan contoh rill tentang dunia usaha.
Pendekatan pembelajaran seperti ini akan memudah para peserta didik dalam
memposisikan dirinya sendiri untuk dijadikan sebagai bekal untuk hidupnya
nanti. Dalam hal ini, peranan pendidik lebih pada proses memberikan bantuan
(pembimbing dan pengarah) agar peserta didik dapat mudah dalam mencapai
tujuannya.
Ada empat hal mendasar yang dijadikan
sebagai landasan tentang kegiatan belajar menurut konsep pendekatan CTL yaitu
proses beljar, transfer belajar, peserta didik sebagai pembelajar, dan
pentingnya lingkungan belajar (Dikdamen, 2002). Ditinjau dari proses
pembelajaran, anak belajar bukan dari sekedar menghafal namun hendaknya harus
diberi kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Anak akan dapat
belajar dengan baik bila dia mengalami bukan hanya sekedar diberi oleh
pendidik. Pengetahuan yang dimiliki anak itu terorganisasi dan mencerminkan
pemahaman yang mendalam. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi
fakta-fakta, tetapi merupakan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Para peserta
didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide . proses belajar dapat mengubah struktur
otak. Perubahan struktur ini sejalan dengan perkembangan organisasi pengetahuan
dan keterampilan seseorang.
Transfer belajar bukan dari pemberian
orang lain, namun siswa belajar dari mengalami sendiri secra langsung maupun
tidak langsung. Keterampilan dan pengetahuan dierluas dari kontek yang
terbatas, sedikit demi sedikit. Hal yang paling penting adalah p[eserta didi tahu
untuk apa mereka belajar dan bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan
itu.
Para peserta didik sebagai pembelajar
mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu dan mempunyai
kecenderungan untuk beljar dengan cepat terhadap hal-hal baru. Oleh karena itu,
strategi belajar itu penting. Dalam hal ini, peran orang dewasa (pendidik)
adalah membantu menghubungkan antar hal baru dengan hal yang telah diketahui
oleh anak. Juga memfasilitasi agar informasi yang telah dimiliki anak bisa
lebih bermakna.
Belajar yang efektif itu dimulai dari
lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik. Jadi bukan para peserta
didik yang nonton pendidik selam proses pembelajaran didalam kelas, tetapi
sebaliknya pendidik yang menonton para peserta didik. Pembelajaran oleh
karenanya harus berpusat pada bagaimana cara para peserta didik menggunakan
pengetahuan baru. Oleh sebab itu, feedback sangat penting perannya bagi para
peserta didik, disamping itu, pada diri mereka juga perlu ditumbuhkan sikap kebersamaan
melalui Cooperative Learning.
Penerapan
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki tujuh komponen
yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), dan penilaian yang
bersifat alamiah (authentic assessment) (Nurhadi & Senduk, 2003). Dengan
demikian, apabila ketujuh komponen itu telah dipenuhi, maka dapat dikatakan
pendidik telah menerapkan CTL.
Adapun
langkah-langkah pendekatan pembelajaran kewirausahaan melalui Contextual
Teaching and Learning (CTL) dalam penerapannya secara garis besar adalah:
a. Kembangkan
pemiiran bahwa anak akan belajar secara lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, nememukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
baru.
b. Melaksanakan
kegiatan inkuiri yang berkaitan langsung dengan topik-topik kewirausahaan.
·
Langkah-langkah dalam inkuiri meliputi
perumusan masalah (misalnya bagaimana cara mengembangkan kiat dan berwirausaha
itu?)
·
Mengamati atau melakukan observasi (baca
literature, mengamati dan mengumpulkan data tentang aspek atu factor-faktor
yang diperlukan dalam membuka usaha baru),
·
Menganalisis dan meyajikan hasil dalam
tulisan, gambar laporan, bagan dll. (seperti melakukan analisis SWOT untuk
membuat profil usaha)
·
Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas, orang tua/ masyarakat.
c. Kembangkan
sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya, atau dengan menggunakan key
questions (seperti : apakah aktivitas bisnis itu?, bagaimana membuka usaha
baru?, bagaiaman mengambangkan usaha baru?, dimanakah usaha baru harus
dikembangkan?, bagaimanakah cara mendapatkan modal usaha itu, sikap seperti
apakah yang dibutuhkan bagi seorang wirausahawan itu?, dsb).
d. Ciptakan
masyarakat belajar (groupwork). Menurut Vygotsky belajar secara kelompok ini
mempunyai peranan yang cukup besar agar seseorang bisa menjadi lebih mastery.
Kelompok belajar yang baik adalah yang
bersifat hiterogen dalam berbagai dimensi.
e. Hadirkan
model sebagai contoh pembelajaran (misalnya mendatangkan seorang pengusaha
untuk megajarkan bagaimana kiat dalam berwirausaha?).
f. Lakuakan
refleksi diakhir pertemuan (flashback, yakni siswa/mahasiswa mengendapkan apa
yang telah dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan siswa/mahasiswa
diperluas melalui konteks pembelajaran. Dalam hal ini, guru/dosen membantu
mereka untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan
pengetahuan baru. Hal terpenting dalam tahap refleksi adalah pernyataan
langsung terhadap apa saja yang telah diperoleh para peserta didik pada hari
itu, catatan atau jurnal pada buku,
kesan dan saran mengenai pembelajaran pada saat itu, diskusi, hasil
karya maupun laporan kegiatan para peserta didik.
g. Laporan
terakhir yaitu melakukan assessmen yang sebenarnya (authentic assessment)
dengan berbagai cara. (Dikdasmen, 2002), seperti melakukan observasi,
wawancara, membuat catatan bebas, portofolio, self evaluation, dll.
Nilai
moral dapat dikonotasikan dengan melakukan suatu kegiatan antara yang benar dan
salah. Pada akhirnya nilai moral ini akan berbentuk suatu hubungan
interpersonal yang nantinya akan berguna bagi siswa dalam mendefinisikan suatu
perbuatan yang sesuai dan tidak sesuai (yang benar dan yang salah). Nilai moral
yang difokuskan pada mata pelajaran kewirausahaan, misalnya adalah memberikan
pertimbangan tentang keseimbangan, kejujuran,
respect pada kebenaran, taat pada hukum dan selalu memegang teguh pada ideology
Negara yaitu pancasila. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran
kewirausahaan, maka nilai-nilai moral seperti diatas perlu dikembangkan dan
diperjuangkan oleh para guru kewirausahaan.
Menurut
Rest (dalam Savage and Armstrong, 1996) nada empat level yang dikembangkan
dalam setiap pembelajaran yang memfokuskan pada nilai dan moralitas, seperti
PPKn dan pendidikan kewirausahaan. Nilai-nilai tersebut meliputi moral
sensitivity, moral judgment, moral decission making, and moral action. Moral
sensitivity menekankan pada seseorang agar mengerti bahwa mereka sebenarnya
dihadapkan pada suatu situasi yang mana dia haris menarapkan nilai-nilai dan
pemikiran moral. Pada moral judgment ada suatu proses analisi yang harus
dilalui sebelum seseorang mengambil suatu keputusan tentang sesuatu yang baik
dan buruk. Untuk moral decision making
seseorang dituntut unutk bertindak sera lebih mendalam dalam
menganalisis suatu keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai. Dalam hal ini
seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan yang tidak dapat dipecahkan atau
diberi suatu tantangan. Sedangkan pada moral action, seseorang diajak untuk
berfikir secara lebih mendalam tentang sesuatu yang harus dilakukan mengenai
problem yang dihadapi.
Untuk
mewujudkan proses pemebalajaran yang menekankan pada aspek moral dan nilai
seperti diatas, Kolhlberg (1980) telah mengembangkan suatu model pembelajaran
moral dengan cara menghubungkannya dengan isu-isu, jilai-nilai dan analisis
dari suatu konsekuensi. Dia mengidentifikasi enam langkah untuk mengembangkan
moral judgments, yaitu: punishment and obedience orientation stage,
instrumental relativism stage,
interpersonal concordance stage, and universal ethical principle
orientation stage. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran kewirausahaan di
sekolah menengah perguruan tinggi, hendaknya perlu menerapkan model tersebut,
karena secara bertahap moral dan sikap para siswa/mahasiswa dapat meningkatkan
yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Realitanya
hanya sedikit saja seseorang yang mampu menguasai level tertinggi dari konsepsi
Kolhlberg. Biasanya tingkatan moral ini dimulai dari yang rendah dan berangsur-angsur menuju ketingkatan yang
lebih tinggi. Tiap-tiap orang akan berbeda dalam mencapai tingkat-tingkat
tersebut. Dalam menguasai tingkatan ini seseorang mendasarkan pada sesuatubyang
logis, sehingga bila dia tidak berfikir secara logis, maka sulit baginya untuk
mencapai tingkatan nilai moral yang lebih tinggi. Adanya perbedaan individu
dalam mencapai tingkatan tersebut, maka diperlukan pendekatan pembelajaran
masalah moral dan nilai-nilai seperti yang akan diperkenalkan Moral Dilemma
Discussion sebagai strategi dalam pembelajaran kewirausahaan/ekonomi di
sekolah.
Ada
empat tahap pembelajaran dengan menggunakan MDD. Tahap teknik pelaksanaan
pembelajaran moral dilemma discussion adalah 1) introduce the moral dilemma; 2)
asking pupils to suggest tentative responses; 3) deciding pupils into groups ro
discuss their reasoning; 4) discussing the reasoning and formulating a
conclusion.
Pertama,
introduce the moral dilemma, dalam hal ini dilemma yang dipilih harus sesuai
dengan kebutuhan anak dn mempunyai arti penting baginya. Isu-isu ini harus
bersifat komplek. Isu dari dilemma ini haruslah yang pendek dan berkaitan erat
dengan situasi dan kondisi yang ada.
Materi dapat disajikan dalam bentuk diskusi, drama, prosa, film, kaset
atau media lain yang dianggap sesuai.
Kedua,
asking pupils to suggest tentative responses, sebagai tindak lanjut dari
kegiatan pertama, para peserta didik disuruh menulis tentang apa yang telah
mereka lakukan dan dilengkapi dengan suatu penjelasan dalam menentukan suatu
keputusan. Berikutnya guru menanyakan pada para peserta didik tentang apa yang
telah didiskusikan oleh mereka.
Ketiga,
deciding pupils into groups to discuss their reasoning, tahap ini pendidik
perlu membentuk kelompok siswa untuk mendiskusikan tentang alasan seseorang dalam
memutuskan masalh tertentu. Untuk melihat partisipasi para peserta didik,
pendidik akanmengunjungi setiap kelompok, sehingga kondisi kelompok menjadi
semakin hidup, karena masing-masing siswa memliki tingkat moral reasoning yang
berbeda. selanjutnya setiap anak mempunyai kesempatan untuk memberikan
pertimbangan moral sesuai dengan keyakinannya, sehingga dapat mempermudah
mereka untuk meningkatkan moral masing-masing ke tingkat yang lebih tinggi.
Keempat,
discissing the reasoning and formulating a conclusion, selama phase penyimpulan
dalam latihan tersebut, guru melengkapinya dengan papan tulis, atau media
sejenis yang akan dipakai oleh siswa (sebagai pembicara) untuk memberikan
alasan dan support tentang pandangan kelompoknya, sehingga dapat dilihat dan
didengar oleh seluruh siswa. Dalam hal ini, guru memimpin jalannya diskusi dan
mengcover semua alasan yang disampaikan oleh siswa. Selanjutnya guru meminta
kepada setiap siswa untuk menulis mengenai tiga atau empat alasan pokok yang
dapat mensupport posisi dia atau dia tidak memberikan support secara personal. Dalam hal ini, dibutuhkan kehati-hatian oleh
seluruh anggota kelas tentang alasan siswa lain, apakah argument tersebut sudah
logis atau belum. Apabila sudah dianggap mantap, selanjutnya para siswa akan
menuliskan tiga atau empat alasan yang dianggap logis dan akurat, sehingga
dapat memperkuat posisi mereka. Pada kegiatan ini, guru tidak perlu megumpulkan
tulisan para siswa tersebut, tetapi cukup memilih salah satu atau beberapa
tulisan siswa sebagai informasi selama proses diskusi.
Cooperative
Learning merupakan metode pembelajaran
yang ditandai dengan adanya kerja sam antara siswa/mahasiswa untuk saling
membantu dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 3-4 orang). Cara lain
yaitu ditandai dengan kerja sama kelompok yang tinggak bersama untuk waktu
beberapa minggu atau bulan. Merka biasanya diajarkan keterampilan-keterampilan
khusus untuk saling membantu agar dapat bekerja sama dengan baik, seperti
keaktifan dalam mendengarkan cramah tentang membuka usaha baru, menjelaskan
cara pemasaran dll. Beberapa model pembelajaran cooperative seperti STAD, CIRC,
JIGSAW, Learning Together, dan Group Investigation.
Langkah-langkah
pembelajaran model Student Team Achievement Division (STAD), yaitu: a) para
siswa/mahasiswa dibagi dalam empat kelompok beljar yang bersifat hiterogen,
baik level kemampuan, jenis kelamin, dan etnik; b) guru/dosen memberikan tugas;
c) para siswa/mahasiswa bekerja sama dengan teamnya agar mereka benar-benar
yakin telah menguasai materi pembelajaran, sebab pada saatnya nanti mereka
harus mampu bekerja sendiri; d) hasil kerja tiap-tiap anggota diskor untuk
dibandingkan hasilnya dengan skor rata-rata yang pernah dihasilkan
sebelumnya, dan adanya point penghargaan
pada siswa yang telah melakukan unjuk kerja; e) point-point yang diperoleh
tersebut kemudian dijadikan untuk membentuk team baru dan diberi sertifikat
khusus.
Problem
solving merupakan suatu sarana individu untuk memuaskan kebutuhannya dalam
mengahadapi suatu situasi yang dianggap baru dengan menggunakan pengathuan,
skills dan understanding yang telah dimiliki sebelumnya. Atau dapat dikatakan
sebagai suatu upaya individu untuk mengidentifikasi potensi-potensi tertentu
dan alternative pemecahan suatu persoalan, baik yang konkrit maupun yang
abstrak. Oleh sebab itu, problem solving lebih bersifat sebagai suatu proses.
Secara
garis besar proses aktivitas belajar siswa melalui problem solving dapat
digambarkan sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
Diadaptasikan dari Krulik and Rudnick
(1995)
Untuk
memperjelas gambar diatas, maka kegiatan siswa dari masing-masing tahap di atas
dapat dijelaskan sbb:
1.
Read and think
a. Identifikasi
fakta-fakta
b. Identifikasi
permasalahan (pertanyaan)
c. Menvisualisasi
situasi
d. Menggambarkan
seting
e. Menyatakan
kembali tindakan
2.
Explore and plan
a. Mengorganisasi
informasi
b. Apakah
informasi sudah cukup
c. Apakah
informasinya terlalu banyak
d. Membuat
diagram atau mengkontruk suatu model
e. Mebuat
chart, tabel, diagram atau gambar
3.
Select a strategy
a. Pengalaman
bentuk
b. Melihat
pekerjaan sebelumnya
c. Mengira-ngira
dan melakukan tes
d. Simulasi
atau eksperimentasi
e. Pengurangan
atau pengembangan
f. Membuat
daftar pelengkap/organized listing
g. Logical
deduction
h. Membagi
dan mengatasi
4.
Find an answer
a. Mengestimasi
b. Menggunakan
kemampuan untuk menghitung
c. Menggunakan
kemampuan/keterampilan lainnya
5.
Reflect and extend
a. Melakukan
cek atas jawaban (apakah perhitungannya sudah benar, apakah pertanyaan telah
terjawab, apakah jawabannya masuk akal, bagaimana jawaban dibandingkan dengan
perkiraan sebelumnya).
b. Mendapatkan
calon pengganti pemecahan.
c. Bagaimana
jika…?
d. Menggembangkan
generalisasi atau konsep lainnya
e. Mendiskusikan
pemecahan
f. Menciptakan
variasi yang menarik atas original problem.
Dari
langkah-lamgkah diatas, diharapkan anak dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapi berdasarkan pada pengetahuan yang di,iliki sebelumnya. Sehingga
melalui problem solving kebutuhan dasar anak dapat terpenuhi.
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembelajaran
Kewirausahaan di sekolah umumnya dilakukan dengan menggunakan metode ceramah,
resitasi, dan membaca buku text. Dilaporkan oleh Douglas, et.all bahwa 90%
guru-guru dalam mengajar hanya menggunakan buku text sebagai sumber bahan ajar
(Saxe, 1994). Peranan guru/dosen pengampu mata pelajaran/mata kuliah
kewirausahaan di era reformasi dan otonomi daerah menjadi semakin penting.
Mereka diharapkan mampu mengambangkan seluruh potensi yang ada, untuk
mengambangkan keseluruhan aspek pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotor dsn
religious, serta emosional siswa).
Ada
beberapa factor yang perlu dipertimbangkan oleh guru/dosen sebelum menentukan
strategi pembelajaran kewirausahaan. Factor tersebut meliputi: a) kebutuhan
dasar anak; b) latar belakang anak; c) perkembangna kognitif anak; d) jenis dan
kecakapan belajar; e) media dan sumber belajar; f) karakteristik mata
pelajaran; g) karakteristik kurikulum; dan h) pengalaman guru.
Kajian ini lebih memfokuskan pada factor
pelaksana lapangan. Yakni guru IPS/kewirausahaan. Yaitu bagaimana upaya mereka
agar dapat menerapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif,
sehingga mampu meningkatkanacademic achievement dan life skills (kecakapan
hidup) para peserta didik. Untuk itu, akan diperkenalkan tiga pendekatan yaitu
: Contextual Teaching and Learning (CTL), Moral Dilemma Discussion (MDD),
Cooperative Learning, dan Problem Solving sebagai alternative pendekatan dalam
pembelajaran kewirausahaan disekolah maupun di bangku kuliah, karena keempatnya
merupakan hal baru yang belum banyak diperaktekkan dikelas.
DAFTAR PUSTAKA
Deliarnov
(1996). Motivasi Untuk Meraih Sukses.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun Semangat Kewirausahaan.
Yogyakarta: LaksBank Pressindo.
Rusdi,
R. 2000. Kiat-Kiat Mengelolah Usaha Baru.
Semarang: Effahar dan Dahara Prize.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar