Selasa, 26 April 2016

Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewirausahaan






MAKALAH KEWIRAUSAHAAN

Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewirausahaan
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewirausahaan Kelas B





Oleh Kelompok 7
Bayu Setiawan            120210302086
Yulia Kusmawati        120210302018
Finuriyati Kumala. D 140210302025
Muh. Anwari               140210302066


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan  rahmat serta karuniaNya kepada penulis sehingga berhasil menyelesaikan Makalah ini, yang Alhamdulillah tepat waktu yang berjudul “Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewirausahaan”.
Makalah ini berisikan tentang informasi strategi pembelajaran pendidikan kewirausahaan serta bagaimana kita meneladani untuk penerapan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.



Jember, April 2016

                                    Penulis



DAFTAR ISI




BAB 1. PENDAHULUAN


Pada bab II pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pemdidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak secara peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehiduapan bangsa. Bertujuan untuk mengembangkannya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha Esa. Berdasarkan pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional diatas, pendidikan kewirausahaan dapat dijadikan sebagai salah satu wahana untuk mensukseskan  tujuan pendidikan nasional. Sebab pada dasarnya pemdidikan kewirausahaan adalah sebagai pendidikan nilai, yang bertujua untuk memberikan pertolongan dengan cara membelajarkan manusia Indonesia agar memiliki kekuatan pribadi yang dinamis, dan kreatif kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan pada pancasila.
Proses pembelajaran kewirausahaan ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan jalur pendidikan informal. Pendidikan kewirausahaan melalui jalur pendidikan formal, dapat dilakukan mulai dari  tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan kewirausahaan melalui jalur nonformal dan informal dapat dilakukan di masyarakat, maupun dirumah. Kedua jenis pendidikan ini dapat dilakukan dimasyarakat, pemerintah, maupun oleh orang tua.
Bila dilihat dari jenisnya, pendidikan formal dapat dibedakan menjadi pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, keagamaan, dan pendidikan khusus. Kedudukan pendidikan kewirausahaan yang dilakukan di sekolah umum biasanya tidak diajarkan secara mandiri, maupun diintegrasikan pada mata pelajaran lain yang relevan, seperti pelajaran ekonomi, PPKN, dll. Khusus untuk pendidikan kejuruan dan pendidikan tinggi, pendidikan kewirausahaan diajarkan secara tersendiri. Pendidikan kewirausahaan yang dilaksanakan secara nonformal dan informal dapat berlangsung dalam masyarakat maupun keluarga. Secara nonformal pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan dengan bentuk khursus atau pelatihan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Sementara, secara informal pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan oleh seseorang melalui interkasi dengan keluarga, teman, masyarakat, maupun media cetak/elektronik.
1.      Bagaimana kondisi pembelajaran kewirausahaan secara umum?
2.      Bagaimana pertimbangan penentuan strategi pembelajaran kewirausahaan?
3.      Bagaimana strategi dan pendekatan pembelajaran pendidikan kewirausahaan?

1.      Untuk mengetahui pembelajaran kewirausahaan secara umum
2.      Untuk mengetahui pertimbangan penentuan strategi pembelajaran kewirausahaan
3.      Untuk mengetahui strategi dan pendekatan pembelajaran pendidikan kewirausahaan

 

BAB II. PEMBAHASAN


Pembelajaran Kewirausahaan di sekolah umumnya dilakukan dengan menggunakan metode ceramah, resitasi, dan membaca buku text. Dilaporkan oleh Douglas, et.all bahwa 90% guru-guru dalam mengajar hanya menggunakan buku text sebagai sumber bahan ajar (Saxe, 1994). Padahal menurut Galbraith (1967) untuk mempelajari suatu ilmu, seseorang harus cekatan dalam menyimak, memahami dan mengambil keputusan, agar nantinya dia lebih mampu bertahan hidup. Untuk itu, pendidikan tidak boleh text-book oriented, sebab menurut Whitehead, text-book oriented biasanya bercorak generalisasi dan mendorong proses pembelajaran yang hanya sekedar menjejalkan ide-ide abstrak, sehinggga siswa cenderung Memorizing not undertstanding. (sukarman, 1988)
Sughonomian mengatakan bahwa buku hanyalah berisi kerangka, oleh sebab itu, daring harus diisi informasi (berupa informasi actual dari media massa maupun dari masyarakat). Selanjutnya buku text yang beredar selama 5 tahun ternyata masih kalah cepat dengan perkembangan teori.  Sebab selama 8 tahun perkembangan teori menjadi dua kali lipat lebih cepat (Sukarman, 1988).
Di samping pembelajaran kewirausahaan masih menekankan pada Text-book oriented, ternyata pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang divariasikan dengan metode diskusi masih belum menekankan pada proses berfikir siswa secara mandiri. Sebab pada umumnya metode diskusi dilakukan pada kelas besar yang biasanya dominasi guru masih tampak menonjol. Juga materi yang dibahas tidak sesuai dengan kontek dan isu-isu moral yang sedang berkembang dalam masyarakat, terutama yang berhubungan dengan kewirausahaan. Ada kecenderungan siswa hanyalah sebagai pendengar penjelasan guru atau hanya sekedar melengkapi Lembar Kerja Siswa (LKS), kondisinya menjadi semakin serius, karena pendidik kurang mengembangkan materi pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan siswa. Padahal dengan memperhatikan interest siswa, seorang guru akan dapat mengajar secara efektif (Saxe, 1994).
Dalam pengelolaan proses pembelajarannyapun masih didominasi peda model keseragaman, yang kurang memperhatikan latar belakang budaya siswa. Padahal kurikulum yang bebrasis kompetensi (KBK), yang didasari oleh teori “Konstruktivistik”, menurut adanya proses pembelajaran yang menghargai keberagaman dan pengalaman hidup sehari-hari  anak, sehingga memungkinkan dia untuk mampu mengkontruk konsep atau pengetahuan sendiri. Hal ini sangat beralasan, karena menurut teori tersebut, anak akan menjadi sangat kreatif dan pandai berinteraksi dengan teman-teman lainnya.
Beberapa kenyataan di atas menajadikan pembelajaran kewirausahaan maupun IPS di sekolah/perguruan tinggi menjadi kurang menarik. Sebagi akibatnya, muncul kebosanan dan kejenuhan dari para peserta didikuntuk mempelajarinya, karena mereka di arahkan hanya sekedar menghafalkan saja tidak ada proses understanding. Hal ini, terjadi karena selama ini materi yang dipelajarinya tidak hanya menyentuh kebutuhan mereka. Atau dengan kata lain materi yang dipelajari tidak relevan dengan pengalaman belajar mereka sehari-hari, akhirnya materi tersebut dianggap kurang menantang.
Peranan guru/dosen pengampu mata pelajaran/mata kuliah kewirausahaan di era reformasi dan otonomi daerah menjadi semakin penting. Mereka diharapkan mampu mengambangkan seluruh potensi yang ada, untuk mengambangkan keseluruhan aspek pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotor dsn religious, serta emosional siswa). Untuk itu, selain kelayakan, mulai sekarang para pengajar kewirausahaan/IPS harus berpedoman pada paradigma baru dalam proses pembelajaran maupun proses assessmennya. Mereka harus mempertimbangkan banyak factor, baik yang berkenaan dengan latar belakang peserta didik, psikologis anak, jenis belajar dll.

Ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan oleh guru/dosen sebelum menentukan strategi pembelajaran kewirausahaan. Factor tersebut meliputi: a) kebutuhan dasar anak; b) latar belakang anak; c) perkembangna kognitif anak; d) jenis dan kecakapan belajar; e) media dan sumber belajar; f) karakteristik mata pelajaran; g) karakteristik kurikulum; dan h) pengalaman guru.
Agar materi kewirausahaan dapat diterima dengan baik oleh para siswa, maka diperlukan suatu strategi tertentu,utamanya yang dapat menyenangkan dan memenuhi kebutuhan dasar para siswa. Menurut Saxe (1994) ada empat kebutuhan dasar (the universal need of children) yang harus dipenuhi yaitu : a) kebutuhan untuk berkomunikasi; b) kebutuhan untuk mengkonstruksi; c) kebutuhan untuk berfikir dan bertindak; dan d) kebutuhan untuk berekpresi diri. Pertimbangan-pertimbangan tersebut sebaiknya juga perlu memperhatikan prior knowledge dan keterampilan yang dimiliki anak agar proses pembelajaran lebih efektif (Borich, 1994). Oleh karena itu, proses pembelajaran kewirausahaan baru dapat berhasil apabila ke empat kebutuhan tersebut telah terpenuhi. Walaupun begitu, kenyataannya masih meneunjukkan bahwa ukuran keberhasilan peserta didik umumnya hanya didasarkan pada nilai (angka)  yang sangat tinggi.
Barba (1995) mengatakan bahwa pembelajaran anak disekolah akan berhasildengan baik  apabila pengajar mau memperhatikan cultural background dan cultural diversity. Oleh sebab itu, pembelajaran kewirausahaan baru akan berhasil apabila guru dapat memanfaatkan pengalaman anak dan berbagai latar belakang yang dimilikinya untuk mempertimbangkan dalam penentuan strategi pembelajarannya.
Para pakar pendidikan yang lain seperti Donaldson dan Sutherland menyatakan bahwa proses pemebelajaran anak akan bisa lebih bermakna dan difahami apabila guru mau mempertimbangkan bahasa dan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh anak. Sebagai contoh Theresia Nunn pernah meneliti para anak penjual coconut milk (vendor) di daerah pantai Brazil yang umumnya lemah dalam belajar matematika di sekolah. Namun demikian, hasilnya sungguh mengejutkan sebab mereka ternyata mampu bertransaksi hingga angka ribuan. Setelah diteliti Theresia menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesulitan anak dalam belajar matematika bukan karena mereka bodoh, tetapi dikarenakan pelajaran matematika yang diajarkan di sekolah penuh dengan simbul-simbul yang tidak biasa mereka kenal dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya mereka telah mampu melakukan aktivitas matematika, karena lebih bersifat riil dan konkrit (Purnomo, 1997).
Tahap-thap pengembangan kognitif anak ternyata juga perlu mendapatkan perhatian khusus selama proses pembelajaran. Sebab menurut Piaget, perkembangan kognitif anak akan melalui tahap-tahap tertentu. Yaitu dimulai dari Pre-operational stage, operational stage, projective stage, dan euclidine stage (formal stage). Pada tahap awal, anak lebih suka berfikir pada hal-hal konkrit dan selanjutnya secara bertahap anak mulai berfikir secara abstrak. Oleh karena itu, pada tahap awal sebaiknya pengajar kewirausahaan perlu memperkenalkan aktivitas atau fenomena sosial yang paling dekat dengan limgkungan dan pengalaman anak, baru kemudian mereka diajak berfikir secara lebih abstrak tentang masalah sosial yang mungkin tidak secara langsung bersinggungan dengan pengalaman mereka. Atau mungkin anak diajak untuk mempelajari fenomena atau mengidentifikasi permasalahan sosial yang paling dekat dengan kehidupan mereka. Selain itu, barulah kemudian mereka diajak untuk mempelajari sesuatu fenomena sosial yang auh dari pengalaman mereka sendiri.
Lebih lanjut, dalam teori Piaget ditegaskan  bahwa proses anak didalam membangun suatu konsep diawali dari proses asimilasi dan apabila sudah mulai mantap, barulah menjadi suatu proses akomodasi (purnomo, 1997). Namun demikian, ada beberapa kritik pada teori Piaget ini, sebab beberapa hasil penelitian seperti dari Wiegend (1992), ternyata anak usia 5 tahun teah mampu membuat peta tertentu yang sebenarnya menurut Piaget baru akan dapat dilakukan oleh anak usia 7 tahun.  Tetapi melaui latihan tertentu taernyata anak usia 5 tahun telah mampu melakukan keterampilan geography. Lebih lanjut, dalam teori Piaget ditegaskan bahwa proses anak didalam membangun suatu konsep diawali dari proses asimilasi dan apabila sudah mulai mantap, barulah terjadi suatu proses akomodasi (Purnomo, 1997).
Dalam perspektif lain Vygotsky, seorang ahli pendidikan Uni Sovyet, menyatakan bahwa dalam diri anak terdapat potensi tertentu yang masih dapat dikembangkan (dikenal dengan istilah zone of proximal development concept). Untuk meningkatkan potensi tersebut diperlukan bantuan orang dewasa atau teman sebaya. Oleh sebab itu, proses pembelajaran kewirausahaan akan bisa lebih efektif bila ada suatu interaksi sosial (Purnomo, 1996).
Beberapa konsep dan pandangan beberapa ahli diatas lebih dekat dengan teori konstruktivistik daripada teori behavioristik. Pada teori konstruktivistik sebenarnya lebih menekankan pada pemberian kebebasan pada anak unutk mengembangkan kemampuan dalam mengkonstruk konsep sesuai dengan pengalamannya sendiri. Oleh sebab itu, teori ini lebih mengarah pada pencapaiannya holistic freedom, yang dapat mempermudah terpenuhinya kebutuhan universal anak seperti model pembelajaran Quantum yang diselenggarakan dalam Super-Camp di USA (Porter & Hernacki, 2002).
Jenis dan kecakapan belajar perlu dipertimbangkan, karena mereka melihat jenis atau kecakapan belajar yang akan dihasilkan, maka akan mempermudah guru/dosen dalam memilih strategi pembelajaran yang sesuai. Jenis kecakapan tersebut meliputi fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Masing-masing jenis belajar ini membutuhkan strategi dan pendekatan yang berbeda.
Agar peserta didik tidak merasa terasing dengan lingkungannya (terutama informasi ekonomi yang berada di lingkungan anak), maka proses pembelajaran kewirausahaan/ ekonomi perlu didukung dengan media tau sumber-sumber langsung, baik dari masyarakat atau perorangan, sebab informasi langsung tersebut lebih bersifat actual dan rill. Oleh karenanya, sesekali guru/dosenpengajar kewirausahaan/ ekonomi perlu mengajak siswanya untuk belajar tentang permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat, apakah melalui fieldwork atau mendatangkan praktisi yang menggeluti permasalahan sosial ke dalam kelas.
Realita juga menunjukkan bahwa banyak materi kewirausahaan yang terdapat dalam media massa baik dari media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, guru/dosen kewirausahaan perlu mempelajari pesan-pesan tersebut, untuk dijadikan sebagai materi pembelajaran. Melalui media massa dapat memperpendek jarak subjek belajar dengan realita kehidupan masyarakat, sehingga proses pembelajaran dapat lancar dan dapat mempermudah pemahaman siswa/mahasiswa terhadap kehidupan masyarakat.
Sebelum sampai pada proses pemilihan strategi yang dianggap sesuai, terlebih dahulu kita perlu mengkaji karakteristik kurikulum. Kalau kita cermati sebenarnya kurikulum 1994 lebih menekankan pada ketrampilan proses, sedangkan konsep kurikulum yang berbasiskan kompetensi (KBK) lebih menekankan pada kompetensi-kompetensi tertentu (diarahkan pada tercapainya life skills, personal skills, social skills, thinking skills, dan academic skills anak). Berdasarkan kajian ini diharapkan proses pembelajaran kewirausahaan lebih banyak diarahkan pada proses terciptanya keterampilan anak untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang perlu dilakukan dalam berwirausaha.
Hingga saat ini sebenarnya model pembelajaran yang menekankan pada pendekatan keterampilan proses masih cukup relevan untuk terus dilaksanakan, sebab akan dapat mempermudah anak dalam menguasai kompetensi-kompetensi tertentu seperti dicangkan dalam konsep kurikulum baru, sekaligus juga dapat mempermudah tercapainya keempat kebutuhan dasar anak. Untuk itu, dalam proses pembelajarannya diperlukan suatu strategi dan metode yang sesuai.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam memilih strategi yang sesuai untuk mengajarkan kewirausahaan adalah, sifat atau karakter dari materi kewirausahaan itu sendiri. Kewirausahaan yang diajarkan di kelas itu sebenarnya marupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial (perpaduan antara ekonomi, manajemen, dan ilmu sosial terkait). Proses pembelajaran kewirausahaan tersebut akan berhasil dengan baik apabila kita tahu tentang formula dari ilmu pengetahuan sosial yang terdiri dari lima komponen: time, space, issues, concept, dan rekationships (Saxe, 1994). Untuk itu, pengajar IPS harus tahu tentang karakteristik dari masing-masing mata pelajaran IPS/ Kewirausahaan. Misalnya ilmu ekonomi konsep dasarnya adalah masalah scarcity dan opportunity cost. Oleh sebab itu, pendidik harus mampu merangsang para peserta didik merekan untuk dapat memahami masalah-masalah ekonomi yang biasa ditemui siswa/mahasiswa (para peserta didik) dalam kehidupan sehari-hari.
Pengalama guru/dosen (pendidik) tentang kewirausahaan sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keberhasilan mereka dalam mengajarkan kewirausahaan. Pengalaman mereka bisa bersifat langsung (firsthand experiences maupun secondhand experiences). Berbasiskan pengalaman kewirausahaan tersebut, dapat mempermudah mereka dalam memberikan penjelasan, maupun motivasi dan merangsang para peserta didikunutk memahami aktivitas kewirausahaan secara rill. Tentu saja pendidik yang telah memiliki pengalaman secara langsung tentang aktivitas kewirausahaan dalam kegiatan pembelajarannya akan  lebih mudah diterima oleh peserta didik, dari pada pendidik yang sama sekali tidak mempunyai pengalaman.

Kajian ini lebih memfokuskan pada factor pelaksana lapangan. Yakni guru IPS/kewirausahaan. Yaitu bagaimana upaya mereka agar dapat menerapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif, sehingga mampu meningkatkanacademic achievement dan life skills (kecakapan hidup) para peserta didik. Untuk itu, akan diperkenalkan tiga pendekatan yaitu : Contextual Teaching and Learning (CTL), Moral Dilemma Discussion (MDD), Cooperative Learning, dan Problem Solving sebagai alternative pendekatan dalam pembelajaran kewirausahaan disekolah maupun di bangku kuliah, karena keempatnya merupakan hal baru yang belum banyak diperaktekkan dikelas.
CTL merupakan konsep belajar yang membantu pendidik untuk sedapat  mungkin mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong mereka untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Dengan demikian, proses pembelajaran kewirausahaan akan lebih bermakna dan alamiah apabila dalam proses pembelajarannya pendidik mau mengkaitkan materi yang diajarkan dengan contoh rill tentang dunia usaha. Pendekatan pembelajaran seperti ini akan memudah para peserta didik dalam memposisikan dirinya sendiri untuk dijadikan sebagai bekal untuk hidupnya nanti. Dalam hal ini, peranan pendidik lebih pada proses memberikan bantuan (pembimbing dan pengarah) agar peserta didik dapat mudah dalam mencapai tujuannya.
Ada empat hal mendasar yang dijadikan sebagai landasan tentang kegiatan belajar menurut konsep pendekatan CTL yaitu proses beljar, transfer belajar, peserta didik sebagai pembelajar, dan pentingnya lingkungan belajar (Dikdamen, 2002). Ditinjau dari proses pembelajaran, anak belajar bukan dari sekedar menghafal namun hendaknya harus diberi kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Anak akan dapat belajar dengan baik bila dia mengalami bukan hanya sekedar diberi oleh pendidik. Pengetahuan yang dimiliki anak itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta, tetapi merupakan keterampilan yang dapat diterapkan. Manusia memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru. Para peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide . proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur ini sejalan dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Transfer belajar bukan dari pemberian orang lain, namun siswa belajar dari mengalami sendiri secra langsung maupun tidak langsung. Keterampilan dan pengetahuan dierluas dari kontek yang terbatas, sedikit demi sedikit. Hal yang paling penting adalah p[eserta didi tahu untuk apa mereka belajar dan bagaimana menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
Para peserta didik sebagai pembelajar mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu dan mempunyai kecenderungan untuk beljar dengan cepat terhadap hal-hal baru. Oleh karena itu, strategi belajar itu penting. Dalam hal ini, peran orang dewasa (pendidik) adalah membantu menghubungkan antar hal baru dengan hal yang telah diketahui oleh anak. Juga memfasilitasi agar informasi yang telah dimiliki anak bisa lebih bermakna.
Belajar yang efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik. Jadi bukan para peserta didik yang nonton pendidik selam proses pembelajaran didalam kelas, tetapi sebaliknya pendidik yang menonton para peserta didik. Pembelajaran oleh karenanya harus berpusat pada bagaimana cara para peserta didik menggunakan pengetahuan baru. Oleh sebab itu, feedback sangat penting perannya bagi para peserta didik, disamping itu, pada diri mereka juga perlu ditumbuhkan sikap kebersamaan melalui Cooperative Learning.
Penerapan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) memiliki tujuh komponen yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), dan penilaian yang bersifat alamiah (authentic assessment) (Nurhadi & Senduk, 2003). Dengan demikian, apabila ketujuh komponen itu telah dipenuhi, maka dapat dikatakan pendidik telah menerapkan CTL.
Adapun langkah-langkah pendekatan pembelajaran kewirausahaan melalui Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam penerapannya secara garis besar adalah:
a.       Kembangkan pemiiran bahwa anak akan belajar secara lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, nememukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru.
b.      Melaksanakan kegiatan inkuiri yang berkaitan langsung dengan topik-topik kewirausahaan.
·         Langkah-langkah dalam inkuiri meliputi perumusan masalah (misalnya bagaimana cara mengembangkan kiat dan berwirausaha itu?)
·         Mengamati atau melakukan observasi (baca literature, mengamati dan mengumpulkan data tentang aspek atu factor-faktor yang diperlukan dalam membuka usaha baru),
·         Menganalisis dan meyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan dll. (seperti melakukan analisis SWOT untuk membuat profil usaha)
·         Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, orang tua/ masyarakat.
c.       Kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya, atau dengan menggunakan key questions (seperti : apakah aktivitas bisnis itu?, bagaimana membuka usaha baru?, bagaiaman mengambangkan usaha baru?, dimanakah usaha baru harus dikembangkan?, bagaimanakah cara mendapatkan modal usaha itu, sikap seperti apakah yang dibutuhkan bagi seorang wirausahawan itu?, dsb).
d.      Ciptakan masyarakat belajar (groupwork). Menurut Vygotsky belajar secara kelompok ini mempunyai peranan yang cukup besar agar seseorang bisa menjadi lebih mastery. Kelompok belajar yang baik adalah  yang bersifat hiterogen dalam berbagai dimensi.
e.       Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran (misalnya mendatangkan seorang pengusaha untuk megajarkan bagaimana kiat dalam berwirausaha?).
f.       Lakuakan refleksi diakhir pertemuan (flashback, yakni siswa/mahasiswa mengendapkan apa yang telah dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan siswa/mahasiswa diperluas melalui konteks pembelajaran. Dalam hal ini, guru/dosen membantu mereka untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Hal terpenting dalam tahap refleksi adalah pernyataan langsung terhadap apa saja yang telah diperoleh para peserta didik pada hari itu, catatan atau jurnal pada buku,  kesan dan saran mengenai pembelajaran pada saat itu, diskusi, hasil karya maupun laporan kegiatan para peserta didik.
g.      Laporan terakhir yaitu melakukan assessmen yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai cara. (Dikdasmen, 2002), seperti melakukan observasi, wawancara, membuat catatan bebas, portofolio, self evaluation, dll.

Nilai moral dapat dikonotasikan dengan melakukan suatu kegiatan antara yang benar dan salah. Pada akhirnya nilai moral ini akan berbentuk suatu hubungan interpersonal yang nantinya akan berguna bagi siswa dalam mendefinisikan suatu perbuatan yang sesuai dan tidak sesuai (yang benar dan yang salah). Nilai moral yang difokuskan pada mata pelajaran kewirausahaan, misalnya adalah memberikan pertimbangan tentang  keseimbangan, kejujuran, respect pada kebenaran, taat pada hukum dan selalu memegang teguh pada ideology Negara yaitu pancasila. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran kewirausahaan, maka nilai-nilai moral seperti diatas perlu dikembangkan dan diperjuangkan oleh para guru kewirausahaan.
Menurut Rest (dalam Savage and Armstrong, 1996) nada empat level yang dikembangkan dalam setiap pembelajaran yang memfokuskan pada nilai dan moralitas, seperti PPKn dan pendidikan kewirausahaan. Nilai-nilai tersebut meliputi moral sensitivity, moral judgment, moral decission making, and moral action. Moral sensitivity menekankan pada seseorang agar mengerti bahwa mereka sebenarnya dihadapkan pada suatu situasi yang mana dia haris menarapkan nilai-nilai dan pemikiran moral. Pada moral judgment ada suatu proses analisi yang harus dilalui sebelum seseorang mengambil suatu keputusan tentang sesuatu yang baik dan buruk. Untuk moral decision making  seseorang dituntut unutk bertindak sera lebih mendalam dalam menganalisis suatu keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai. Dalam hal ini seseorang dihadapkan pada suatu permasalahan yang tidak dapat dipecahkan atau diberi suatu tantangan. Sedangkan pada moral action, seseorang diajak untuk berfikir secara lebih mendalam tentang sesuatu yang harus dilakukan mengenai problem yang dihadapi.
Untuk mewujudkan proses pemebalajaran yang menekankan pada aspek moral dan nilai seperti diatas, Kolhlberg (1980) telah mengembangkan suatu model pembelajaran moral dengan cara menghubungkannya dengan isu-isu, jilai-nilai dan analisis dari suatu konsekuensi. Dia mengidentifikasi enam langkah untuk mengembangkan moral judgments, yaitu: punishment and obedience orientation stage, instrumental relativism stage,  interpersonal concordance stage, and universal ethical principle orientation stage. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran kewirausahaan di sekolah menengah perguruan tinggi, hendaknya perlu menerapkan model tersebut, karena secara bertahap moral dan sikap para siswa/mahasiswa dapat meningkatkan yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Realitanya hanya sedikit saja seseorang yang mampu menguasai level tertinggi dari konsepsi Kolhlberg. Biasanya tingkatan moral ini dimulai dari yang rendah  dan berangsur-angsur menuju ketingkatan yang lebih tinggi. Tiap-tiap orang akan berbeda dalam mencapai tingkat-tingkat tersebut. Dalam menguasai tingkatan ini seseorang mendasarkan pada sesuatubyang logis, sehingga bila dia tidak berfikir secara logis, maka sulit baginya untuk mencapai tingkatan nilai moral yang lebih tinggi. Adanya perbedaan individu dalam mencapai tingkatan tersebut, maka diperlukan pendekatan pembelajaran masalah moral dan nilai-nilai seperti yang akan diperkenalkan Moral Dilemma Discussion sebagai strategi dalam pembelajaran kewirausahaan/ekonomi di sekolah.
Ada empat tahap pembelajaran dengan menggunakan MDD. Tahap teknik pelaksanaan pembelajaran moral dilemma discussion adalah 1) introduce the moral dilemma; 2) asking pupils to suggest tentative responses; 3) deciding pupils into groups ro discuss their reasoning; 4) discussing the reasoning and formulating a conclusion.
Pertama, introduce the moral dilemma, dalam hal ini dilemma yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan anak dn mempunyai arti penting baginya. Isu-isu ini harus bersifat komplek. Isu dari dilemma ini haruslah yang pendek dan berkaitan erat dengan situasi dan kondisi yang ada.  Materi dapat disajikan dalam bentuk diskusi, drama, prosa, film, kaset atau media lain yang dianggap sesuai.
Kedua, asking pupils to suggest tentative responses, sebagai tindak lanjut dari kegiatan pertama, para peserta didik disuruh menulis tentang apa yang telah mereka lakukan dan dilengkapi dengan suatu penjelasan dalam menentukan suatu keputusan. Berikutnya guru menanyakan pada para peserta didik tentang apa yang telah didiskusikan oleh mereka.
Ketiga, deciding pupils into groups to discuss their reasoning, tahap ini pendidik perlu membentuk kelompok siswa untuk mendiskusikan tentang alasan seseorang dalam memutuskan masalh tertentu. Untuk melihat partisipasi para peserta didik, pendidik akanmengunjungi setiap kelompok, sehingga kondisi kelompok menjadi semakin hidup, karena masing-masing siswa memliki tingkat moral reasoning yang berbeda. selanjutnya setiap anak mempunyai kesempatan untuk memberikan pertimbangan moral sesuai dengan keyakinannya, sehingga dapat mempermudah mereka untuk meningkatkan moral masing-masing ke tingkat yang lebih tinggi.
Keempat, discissing the reasoning and formulating a conclusion, selama phase penyimpulan dalam latihan tersebut, guru melengkapinya dengan papan tulis, atau media sejenis yang akan dipakai oleh siswa (sebagai pembicara) untuk memberikan alasan dan support tentang pandangan  kelompoknya, sehingga dapat dilihat dan didengar oleh seluruh siswa. Dalam hal ini, guru memimpin jalannya diskusi dan mengcover semua alasan yang disampaikan oleh siswa. Selanjutnya guru meminta kepada setiap siswa untuk menulis mengenai tiga atau empat alasan pokok yang dapat mensupport posisi dia atau dia tidak memberikan support secara personal.  Dalam hal ini, dibutuhkan kehati-hatian oleh seluruh anggota kelas tentang alasan siswa lain, apakah argument tersebut sudah logis atau belum. Apabila sudah dianggap mantap, selanjutnya para siswa akan menuliskan tiga atau empat alasan yang dianggap logis dan akurat, sehingga dapat memperkuat posisi mereka. Pada kegiatan ini, guru tidak perlu megumpulkan tulisan para siswa tersebut, tetapi cukup memilih salah satu atau beberapa tulisan siswa sebagai informasi selama proses diskusi.
Cooperative Learning merupakan  metode pembelajaran yang ditandai dengan adanya kerja sam antara siswa/mahasiswa untuk saling membantu dalam kelompok-kelompok kecil (beranggotakan 3-4 orang). Cara lain yaitu ditandai dengan kerja sama kelompok yang tinggak bersama untuk waktu beberapa minggu atau bulan. Merka biasanya diajarkan keterampilan-keterampilan khusus untuk saling membantu agar dapat bekerja sama dengan baik, seperti keaktifan dalam mendengarkan cramah tentang membuka usaha baru, menjelaskan cara pemasaran dll. Beberapa model pembelajaran cooperative seperti STAD, CIRC, JIGSAW, Learning Together, dan Group Investigation.
Langkah-langkah pembelajaran model Student Team Achievement Division (STAD), yaitu: a) para siswa/mahasiswa dibagi dalam empat kelompok beljar yang bersifat hiterogen, baik level kemampuan, jenis kelamin, dan etnik; b) guru/dosen memberikan tugas; c) para siswa/mahasiswa bekerja sama dengan teamnya agar mereka benar-benar yakin telah menguasai materi pembelajaran, sebab pada saatnya nanti mereka harus mampu bekerja sendiri; d) hasil kerja tiap-tiap anggota diskor untuk dibandingkan hasilnya dengan skor rata-rata yang pernah dihasilkan sebelumnya,  dan adanya point penghargaan pada siswa yang telah melakukan unjuk kerja; e) point-point yang diperoleh tersebut kemudian dijadikan untuk membentuk team baru dan diberi sertifikat khusus.
Problem solving merupakan suatu sarana individu untuk memuaskan kebutuhannya dalam mengahadapi suatu situasi yang dianggap baru dengan menggunakan pengathuan, skills dan understanding yang telah dimiliki sebelumnya. Atau dapat dikatakan sebagai suatu upaya individu untuk mengidentifikasi potensi-potensi tertentu dan alternative pemecahan suatu persoalan, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Oleh sebab itu, problem solving lebih bersifat sebagai suatu proses.
Secara garis besar proses aktivitas belajar siswa melalui problem solving dapat digambarkan sebagai berikut:

Student’s Activities
 
Reflect & ectend
 
Find an answer
 
Select a strategy
 
Explore & paln
 
Read & think
 
                                                                                                                                                             



    Diadaptasikan dari Krulik and Rudnick (1995)
Untuk memperjelas gambar diatas, maka kegiatan siswa dari masing-masing tahap di atas dapat dijelaskan sbb:
1.      Read and think
a.       Identifikasi fakta-fakta
b.      Identifikasi permasalahan (pertanyaan)
c.       Menvisualisasi situasi
d.      Menggambarkan seting
e.       Menyatakan kembali tindakan
2.      Explore and plan
a.       Mengorganisasi informasi
b.      Apakah informasi sudah cukup
c.       Apakah informasinya terlalu banyak
d.      Membuat diagram atau mengkontruk suatu model
e.       Mebuat chart, tabel, diagram atau gambar
3.      Select a strategy
a.       Pengalaman bentuk
b.      Melihat pekerjaan sebelumnya
c.       Mengira-ngira dan melakukan tes
d.      Simulasi atau eksperimentasi
e.       Pengurangan atau pengembangan
f.       Membuat daftar pelengkap/organized listing
g.      Logical deduction
h.      Membagi dan mengatasi
4.      Find an answer
a.       Mengestimasi
b.      Menggunakan kemampuan untuk menghitung
c.       Menggunakan kemampuan/keterampilan lainnya
5.      Reflect and extend
a.       Melakukan cek atas jawaban (apakah perhitungannya sudah benar, apakah pertanyaan telah terjawab, apakah jawabannya masuk akal, bagaimana jawaban dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya).
b.      Mendapatkan calon pengganti pemecahan.
c.       Bagaimana jika…?
d.      Menggembangkan generalisasi atau konsep lainnya
e.       Mendiskusikan pemecahan
f.       Menciptakan variasi yang menarik atas original problem.
Dari langkah-lamgkah diatas, diharapkan anak dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi berdasarkan pada pengetahuan yang di,iliki sebelumnya. Sehingga melalui problem solving kebutuhan dasar anak dapat terpenuhi.


BAB 3. PENUTUP


3.1   Kesimpulan
Pembelajaran Kewirausahaan di sekolah umumnya dilakukan dengan menggunakan metode ceramah, resitasi, dan membaca buku text. Dilaporkan oleh Douglas, et.all bahwa 90% guru-guru dalam mengajar hanya menggunakan buku text sebagai sumber bahan ajar (Saxe, 1994). Peranan guru/dosen pengampu mata pelajaran/mata kuliah kewirausahaan di era reformasi dan otonomi daerah menjadi semakin penting. Mereka diharapkan mampu mengambangkan seluruh potensi yang ada, untuk mengambangkan keseluruhan aspek pembelajaran (kognitif, afektif, psikomotor dsn religious, serta emosional siswa).
Ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan oleh guru/dosen sebelum menentukan strategi pembelajaran kewirausahaan. Factor tersebut meliputi: a) kebutuhan dasar anak; b) latar belakang anak; c) perkembangna kognitif anak; d) jenis dan kecakapan belajar; e) media dan sumber belajar; f) karakteristik mata pelajaran; g) karakteristik kurikulum; dan h) pengalaman guru.
Kajian ini lebih memfokuskan pada factor pelaksana lapangan. Yakni guru IPS/kewirausahaan. Yaitu bagaimana upaya mereka agar dapat menerapkan strategi pembelajaran kewirausahaan secara efektif, sehingga mampu meningkatkanacademic achievement dan life skills (kecakapan hidup) para peserta didik. Untuk itu, akan diperkenalkan tiga pendekatan yaitu : Contextual Teaching and Learning (CTL), Moral Dilemma Discussion (MDD), Cooperative Learning, dan Problem Solving sebagai alternative pendekatan dalam pembelajaran kewirausahaan disekolah maupun di bangku kuliah, karena keempatnya merupakan hal baru yang belum banyak diperaktekkan dikelas.


DAFTAR PUSTAKA


Deliarnov (1996). Motivasi Untuk Meraih Sukses. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Purnomo, Bambang Hari. 2005. Membangun Semangat Kewirausahaan. Yogyakarta: LaksBank Pressindo.
Rusdi, R. 2000. Kiat-Kiat Mengelolah Usaha Baru. Semarang: Effahar dan Dahara Prize.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar